--> Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM | SMP KELUARGA SIAMBATON NAPA

2/14/2013

Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM

| 2/14/2013
Bagaimana latar belakang lahirnya instrumen nasional HAM atau perundang undangan nasional HAM? Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum disusun secara sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan – ketentuan tentang hak asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5 (lima) pokok mengenai hak – hak asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu :
a. Kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
b. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
c. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang (Pasal 28);
d. Kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
e. Hak atas pengajaran (Pasal 31 ayat 1).
Masuknya pasal – pasal HAM dalam UUD 1945 di atas, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Soekarno danSoepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukan
(terutama Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang
berbeda tersebut sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad
Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid
I, antara lain sebagai berikut.
Bung Karno menjelaskan bahwa
telah ditentukan sidang pertama bahwa
”kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan
sosial inilah protes kita yang maha
hebat terhadap dasar individualisme.
Kita menghendaki keadilan sosial. Buat
apa grondwet (undang – undang dasar)
menuliskan bahwa manusia bukan saja
mempunyai hak kemerdekaan memberi
suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau
misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial)
yang demikian itu ? Buat apa kita membikin grondwet, apa
guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang
yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau
kita betul – betul hendak mendasarkan negara kita kepada
paham kekeluargaan, faham tolong – menolong, faham
gotong – royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe
pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme
daripadanya. Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan
rakyat, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut
paham Panitia Perancang UUD satu-satunya jaminan,
bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di
kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang
kemudian didukung oleh Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta, antara lain
menyatakan : “…Mendirikan negara yang baru, hendaknya
kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang
kita bikin jangan sampai menjadi negara kekuasaan.
Kita menghendaki Negara Pengurus, kita membangun
masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha
bersama, tujuan kita adalah membaharui masyarakat.
Tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan
yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan
di atas negara baru itu suatu Negara Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap–tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap – tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suara”. Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya kemudian didukung oleh Muhammad Yamin.
Dengan demikian memahami pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945 rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Bung Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam kenyataan pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa.
Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah. Hal itu dapat dicermati bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter. Sampai memasuki abad ke – 21 persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan HAM, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sebagai warga dunia dan anggota PBB memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Begitu pula atas desakan masyarakat bagi pengembangan kehidupan yang demokratis dan pelaksanaan HAM serta adanya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, maka dipandang perlu membentuk Undang – Undang HAM. UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dalam suasana di atas.

Related Posts

No comments:

2/14/2013

Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM

Bagaimana latar belakang lahirnya instrumen nasional HAM atau perundang undangan nasional HAM? Jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 (sebelum perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum disusun secara sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan – ketentuan tentang hak asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5 (lima) pokok mengenai hak – hak asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu :
a. Kesamaan kedudukan dan kewajiban warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
b. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
c. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang (Pasal 28);
d. Kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
e. Hak atas pengajaran (Pasal 31 ayat 1).
Masuknya pasal – pasal HAM dalam UUD 1945 di atas, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Soekarno danSoepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukan
(terutama Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang
berbeda tersebut sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad
Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid
I, antara lain sebagai berikut.
Bung Karno menjelaskan bahwa
telah ditentukan sidang pertama bahwa
”kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan
sosial inilah protes kita yang maha
hebat terhadap dasar individualisme.
Kita menghendaki keadilan sosial. Buat
apa grondwet (undang – undang dasar)
menuliskan bahwa manusia bukan saja
mempunyai hak kemerdekaan memberi
suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau
misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial)
yang demikian itu ? Buat apa kita membikin grondwet, apa
guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang
yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau
kita betul – betul hendak mendasarkan negara kita kepada
paham kekeluargaan, faham tolong – menolong, faham
gotong – royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe
pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme
daripadanya. Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan
rakyat, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut
paham Panitia Perancang UUD satu-satunya jaminan,
bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di
kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang
kemudian didukung oleh Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta, antara lain
menyatakan : “…Mendirikan negara yang baru, hendaknya
kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang
kita bikin jangan sampai menjadi negara kekuasaan.
Kita menghendaki Negara Pengurus, kita membangun
masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha
bersama, tujuan kita adalah membaharui masyarakat.
Tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan
yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan
di atas negara baru itu suatu Negara Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap–tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap – tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suara”. Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya kemudian didukung oleh Muhammad Yamin.
Dengan demikian memahami pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945 rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Bung Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam kenyataan pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa.
Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah. Hal itu dapat dicermati bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter. Sampai memasuki abad ke – 21 persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan HAM, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sebagai warga dunia dan anggota PBB memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Begitu pula atas desakan masyarakat bagi pengembangan kehidupan yang demokratis dan pelaksanaan HAM serta adanya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, maka dipandang perlu membentuk Undang – Undang HAM. UURI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dalam suasana di atas.

No comments: