11/14/2015

KEBUDAYAAN MASYARAKAT PRA AKSARA

| 11/14/2015
Zaman pra aksara dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) zaman batu,
dan (2) zaman logam. Pembagian itu didasarkan pada alat-alat atau
hasil kebudayaan yang mereka ciptakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan kehidupannya. Secara skematis, pembagian zaman pra
aksara dapat digambarkan sebagai berikut:
1.  ZAMAN BATU

PALEOLITIKUM
MESOLITIKUM
NEOLITIKUM
MEGALITIKUM


2. ZAMAN LOGAM
TEMBAGA
PERUNGGU
BESI

Disebut zaman batu karena hasil-hasil kebudayaan pada masa
itu sebagian besar terbuat dari batu, mulai dari yang sedernaha dan
kasar sampai pada yang baik dan halus. Perbedaan itu merupakan
gambaran usia peralatan tersebut. Semakin sederhana dan kasar,
maka peralatan itu dikatakan berasal dari zaman yang lebih tua, dan
sebaliknya. Zaman batu sendiri dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1)
zaman batu tua (paleolitikum), (2) zaman batu tengah (mesolitikum),
dan (3) zaman batu muda (neolitikum). Di samping ketiga zaman
batu itu, juga dikenal zaman batu besar (megalitikum).
Beberapa hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum, di
antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial,
alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah
dikerjakan kedua sisinya. Alat-alat ini tidak dapat digolongkan ke
dalam kebudayaan batu teras maupun golongan fl ake. Alat-alat ini
dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan, tidak
jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa contoh hasil
kebudayaan dari zaman paleolitikum dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
Chopper merupakan salah satu jenis kapak genggam yang
berfungsi sebagai alat penetak. Oleh karena itu, chopper sering disebut sebagai kapak penetak. Mungkin kalian masih sulit membayangkan bagaimana cara menggunakan chopper. Misalnya, kalian akan memotong kayu yang basah atau tali yang besar, sementara kalian tidak memiliki alat pemotong, maka kalian dapat mengambil pecahan batu yang tajam. Kayu atau tali yang akan dipotong diletakan pada benda yang keras dan bagian yang akan dipotong dipukul dengan batu, maka kayu atau tali akan putus. Itulah, cara menggunakan kapak penetak atau chopper.
Contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum adalah flake atau alat-alat serpih. Hasil kebudayaan ini banyak ditemukan di wilayah Indonesia, terutama di Sangiran (Jawa Tengah) dan Cebbenge (Sulawesi Selatan). Flake memiliki fungsi yang besar, terutama untuk mengelupas kulit umbi-umbian dan kulit hewan. Perhatikan salah satu contoh flake yang ditemukan di Sangiran dan Cebbenge.
Pada Zaman Paleolitikum, di samping ditemukan hasil-hasil kebudayaan, juga ditemukan beberapa peninggalan, seperti tengkorak (2 buah), fragmen kecil dari rahang bawah kanan, dan tulang paha (6 buah) yang diperkirakan dari jenis manusia. Selama masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Persoalan yang agak aneh karena Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit, busur alis mata yang tebal, otak yang kecil, rahang yang besar, dan geraham yang kokoh. Di samping ini adalah salah tengkorak Homo Soloensis yang ditemukan oleh Ter Haar, Oppenoorth, dan von Konigwald di Ngandong pada tahun 1936-1941.
Pada Zaman Mesolitikum terdapat tiga macam kebudayaan yang berbeda satu sama lain, yaitu kebuadayaan: (1) Bascon-Hoabin, (2) Toale, dan (3) Sampung. Ketiga kebudayaan itu diperkirakan datang di Indonesia hampir bersamaan waktunya.
Kebudayaan Bascon-Hoabin ditemukan dalam goa-goa dan bukit-bukit kerang di Indo Cina, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Daerah-daerah itu merupakan wilayah yang saling berkaitan satu sama lainnya. Kebudayaan ini umumnya berupa alat dari batu kali yang bulat. Sering disebut sebagai ‘batu teras’ karena hanya dikerjakan satu sisi, sedangkan sisi yang lain dibiarkan tetap licin.
Sumateralith adalah salah jenis peralatan manusia pra aksara Indonesia yang berfungsi sebagai alat penetak, pemecah, pemotong, pelempar, penggali, dan lain-lain. Alat ini ditemukan di Sumatera dalam jumlah yang sangat banyak. Penemuan ini merupakan fenomena yang menarik karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat pada waktu itu. Sekurang-kurangnya, penemuan itu merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat sudah semakin maju dengan kebutuhan yang semakin tinggi.
Hasil kebudayaan Toale dan yang serumpun umumnya, berupa kebudayaan ‘flake’ dan ‘blade’. Kebudayaan ini mendapat pengaruh kuat dari unsur ‘microlith’ sehingga menghasilkan alat-alat yang berukuran kecil dan terbuat dari batu yang mirip dengan ‘batu api’ di Eropa. Di samping itu, ditemukan alat-alat yang terbuat dari tulang dan kerang. Alat-alat ini sebagian besar merupakan alat berburu atau yang dipergunakan para nelayan.
Kebudayaan-kebudayaan yang mirip dengan kebudayaan Toale ditemukan di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan Besuki); di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci dan goa-goa di Jambi); di Flores, di Timor, dan di Sulawesi. Di bawah ini adalah salah satu hasil kebuadayaan Toale dari Sulawesi Selatan yang memiliki ukuran lebih kecil, tetapi tampak lebih tajam dibandingkan dengan kapak genggam, kapak perimbas, atau jenis
kapak lainnya.
Di samping alat-alat yang terbuat
dari batu, juga ditemukan alat-alat yang
terbuat dari tulang dan tanduk. Kedua
jenis alat ini termasuk dalam hasil
kebudayaan Toale.
Sementara, kebudayaan Sampung
merupakan kebudayaan tulang dan tanduk yang
ditemukan di desa Sampung, Ponorogo. Barang
yang ditemukan berupa jarum, pisau, dan sudip.
Pada lapisan yang lain telah ditemukan ‘mata
panah’ yang terbuat dari kapur membatu. Di
samping itu ditemukan juga beberapa kerangka
manusia dan tulang binatang buas yang dibor
(mungkin sebagai perhiasan atau jimat).
Tentang persebaran kebudayaan Toale tidak
diketahui secara. Namun, beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa kebudayaan ini telah
berkembang di Sulawesi dan Flores.
Kira-kira 1000 tahun SM, telah datang bangsa-
bangsa baru yang memiliki kebudayaan lebih maju
dan tinggi derajatnya.
Mereka dikenal sebagai bangsa Probo Melayu
dan Deutro Melayu. Beberapa kebudayaan mereka
yang terpenting adalah sudah mengenal
pertanian, berburu, menangkap ikan,
memelihara ternak jinak (anjing, babi,
dan ayam).
Sistem pertanian dilakukan dengan
sederhana. Mer eka menanam tanaman
untuk beberapa kali dan sesudah itu
ditinggalkan. Mereka berpindah ke tempat
lain dan melaksanakan sistem pertanian yang
sama untuk kemudian berpindah lagi. Sistem
pertanian itu sangat tidak ekonomis, tetapi
lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Mereka
mulai hidup menetap, meski untuk waktu yang
tidak lama. Mereka telah membangun pondok-
pondok yang berbentuk persegi empat siku-siku, didirikan di atas
tiang-tiang kayu, diding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang
indah.
Sedangkan peralatan yang mereka pergunakan masih terbuat dari batu, tulang, dan tanduk. Meskipun demikian, peralatan itu telah dikerjakan lebih halus dan lebih tajam. Pola umum kebudayaan dari masa neolitikum adalah pahat persegi panjang. Alat-alat perkakas yang terindah dari kebudayaan ini ditemukan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan karena terbuat dari batu permata. Di samping itu, ditemukan beberapa jenis kapak (persegi dan lonjong) dalam jumlah yang banyak dan mata panah.
Berbagai jenis kapak yang ditemukan memiliki fungsi yang yang hampir. Pada masa neolitikum, perkembangan kapak lonjong dan beliung persegi sangat menonjol. Konon kedua jenis alat ini berasal dari daratan Asia Tenggara yang masuk ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur. Persebaran kapak lonjong dan beliung persegi dapat dilihat dalam peta di bawah ini.
Berdasarkan hasil penelitian, peralatan manusia purba banyak ditemukan di berbagai wilayah, seperti daerah Jampang Kulon (Sukabumi), Gombong (Jawa Tengah), Perigi dan Tambang Sawah (Beng-kulu), Lahat dan Kalianda (Sumatera Selatan), Sembiran Trunyan (Bali), Wangka dan Maumere (Flores), daerah Timor Timur, Awang Bangkal (Kalimantan Timur), dan Cabbenge (Sulawesi Selatan). Beberapa peralatan yang penting dan banyak ditemukan, di antaranya:
Kapak perimbas. Kapak perimbas tidak memiliki tangkai dan digunakan dengan cara menggenggam. Kapak ini ditemukan hampir di daerah yang disebutkan di atas dan diperkirakan berasal dari lapisan yang sama dengan kehidupan Pithecanthropus. Kapak jenis juga ditemukan di beberapa negara Asia, seperti Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Pilipina sehingga sering dikelompokkan dalam kebudayaan Bascon-Hoabin.
Kapak penetak. Kapak penetak memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih besar dan kasar. Kapak ini digunakan untuk membelah kayu, pohon, dan bambu. Kapak ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Kapak genggam. Kapak genggam memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih kecil dan belum diasah. Kapak ini juga ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Cara menggunakan kapak ini adalah menggenggam bagian yang kecil.
Pahat genggam. Pahat genggam memiliki bentuk lebih kecil dari kapak genggam. Menurut para ahli, pahat ini dipergunakan untuk menggemburkan tanah. Alat ini digunakan untuk mencari ubi-ubian yang dapat dimakan.
Alat serpih. Alat ini memiliki bentuk yang sederhana dan ber-dasarkan bentuknya alat diduga sebagai pisau, gurdi, dan alat penusuk. Alat ini banyak ditemukan di gua-gua dalam keadaan yang utuh. Di samping itu, alat ini juga ditemukan Sangiran (Jawa Tengah), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Maumere (Flores), dan Timor.
Alat-alat dari tulang. Tampaknya, tulang-tulang binatang hasil buruan telah dimanfaatkan untuk membuat alat seperti pisau, belati, mata tombak, mata panah, dan lain-lainnya. Alat-alat ini banyak ditemukan di Ngandong dan Sampung (Ponorogo). Oleh karena itu, pembuatan alat-alat ini sering disebut kebudayaan Sampung.
Blade, flake, dan microlith. Alat-alat ini banyak ditemukan di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan Besuki); di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci dan gua-gua di Jambi); di Flores, di Timor, dan di Sulawesi. Semua alat-alat itu sering disebut sebagai kebudayaan Toale atau kebudayaan serumpun.
Di samping kebudayaan material, masyarakat pra aksara telah memiliki atau menghasilkan kebudayaan rohani. Kebudayaan rohani mulai muncul dalam kehidupan manusia, ketika mereka mulai mengenal sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan telah muncul sejak masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. Kuburan merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat telah memiliki anggapan tertentu dan memberikan penghormatan kepada orang telah meninggal. Masyarakat percaya bahwa orang yang meninggal, rohnya akan tetap hidup dan pergi ke suatu tempat yang tinggi. Bahkan, jika orang itu berilmu atau berpengaruh dapat memberikan perlindungan atau nasihat kepada mereka yang mengalami kesulitan.
Sistem kepercayaan masyarakat terus berkembang. Penghormatan kepada roh nenek moyang dapat dilihat pada peninggalan-peninggalan berupa tugu batu seperti pada zaman megalitikum. Peninggalan megalitikum lebih banyak ditemukan pada tempat-tempat yang tinggi. Hal itu sesuai dengan kepercayaan bahwa roh nenek moyang bertempat tinggal pada tempat yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa manusia mulai menyadari kehidupannya berada di tengah-tengah alam semesta. Manusia menyadari dan merasakan adanya kekuatan yang maha dahsyat di luar dirinya sendiri. Kekuatan itulah yang kemudian di-ketahui berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang menciptakan, menghidupkan, memelihara, dan membinasakan alam semesta. Dari kepercayaan itu, selanjutnya berkembang kepercayaan yang bersifat animisme, dinamisme, dan monoisme. Animisme adalah kepercayaan bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa. Dinamisme merupakan kepercayaan bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib. Sedangkan monoisme merupakan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebenarnya, zaman megalitikum bukan kelanjutan dari zaman batu sebelumnya. Megalitikum muncul bersamaan dengan zaman mesolotikum dan neolitikum. Pada zaman batu pada umumnya, muncul kebudayaan batu besar (megalitikum) seperti menhir, batu berundak, dolmen, dan sebagainya.
Sementara, zaman logam dibedakan menjadi 3 (tiga) zaman, yaitu: (1) zaman Tembaga, (2) zaman Perunggu, dan (3) zaman Besi. Namun, zaman Tembaga tidak pernah berkembang di Indonesia. Dengan demikian, zaman logam di Indonesia dimulai dari zaman Perunggu. Beberapa peninggalan dari zaman logam, di antaranya adalah nekara, bejana, dan kapak yang terbuat dari perunggu, serta belati dari besi.
 



Related Posts

No comments:

11/14/2015

KEBUDAYAAN MASYARAKAT PRA AKSARA

Zaman pra aksara dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) zaman batu,
dan (2) zaman logam. Pembagian itu didasarkan pada alat-alat atau
hasil kebudayaan yang mereka ciptakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan kehidupannya. Secara skematis, pembagian zaman pra
aksara dapat digambarkan sebagai berikut:
1.  ZAMAN BATU

PALEOLITIKUM
MESOLITIKUM
NEOLITIKUM
MEGALITIKUM


2. ZAMAN LOGAM
TEMBAGA
PERUNGGU
BESI

Disebut zaman batu karena hasil-hasil kebudayaan pada masa
itu sebagian besar terbuat dari batu, mulai dari yang sedernaha dan
kasar sampai pada yang baik dan halus. Perbedaan itu merupakan
gambaran usia peralatan tersebut. Semakin sederhana dan kasar,
maka peralatan itu dikatakan berasal dari zaman yang lebih tua, dan
sebaliknya. Zaman batu sendiri dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1)
zaman batu tua (paleolitikum), (2) zaman batu tengah (mesolitikum),
dan (3) zaman batu muda (neolitikum). Di samping ketiga zaman
batu itu, juga dikenal zaman batu besar (megalitikum).
Beberapa hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum, di
antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial,
alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah
dikerjakan kedua sisinya. Alat-alat ini tidak dapat digolongkan ke
dalam kebudayaan batu teras maupun golongan fl ake. Alat-alat ini
dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar. Bahkan, tidak
jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa contoh hasil
kebudayaan dari zaman paleolitikum dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
Chopper merupakan salah satu jenis kapak genggam yang
berfungsi sebagai alat penetak. Oleh karena itu, chopper sering disebut sebagai kapak penetak. Mungkin kalian masih sulit membayangkan bagaimana cara menggunakan chopper. Misalnya, kalian akan memotong kayu yang basah atau tali yang besar, sementara kalian tidak memiliki alat pemotong, maka kalian dapat mengambil pecahan batu yang tajam. Kayu atau tali yang akan dipotong diletakan pada benda yang keras dan bagian yang akan dipotong dipukul dengan batu, maka kayu atau tali akan putus. Itulah, cara menggunakan kapak penetak atau chopper.
Contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum adalah flake atau alat-alat serpih. Hasil kebudayaan ini banyak ditemukan di wilayah Indonesia, terutama di Sangiran (Jawa Tengah) dan Cebbenge (Sulawesi Selatan). Flake memiliki fungsi yang besar, terutama untuk mengelupas kulit umbi-umbian dan kulit hewan. Perhatikan salah satu contoh flake yang ditemukan di Sangiran dan Cebbenge.
Pada Zaman Paleolitikum, di samping ditemukan hasil-hasil kebudayaan, juga ditemukan beberapa peninggalan, seperti tengkorak (2 buah), fragmen kecil dari rahang bawah kanan, dan tulang paha (6 buah) yang diperkirakan dari jenis manusia. Selama masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Persoalan yang agak aneh karena Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit, busur alis mata yang tebal, otak yang kecil, rahang yang besar, dan geraham yang kokoh. Di samping ini adalah salah tengkorak Homo Soloensis yang ditemukan oleh Ter Haar, Oppenoorth, dan von Konigwald di Ngandong pada tahun 1936-1941.
Pada Zaman Mesolitikum terdapat tiga macam kebudayaan yang berbeda satu sama lain, yaitu kebuadayaan: (1) Bascon-Hoabin, (2) Toale, dan (3) Sampung. Ketiga kebudayaan itu diperkirakan datang di Indonesia hampir bersamaan waktunya.
Kebudayaan Bascon-Hoabin ditemukan dalam goa-goa dan bukit-bukit kerang di Indo Cina, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Daerah-daerah itu merupakan wilayah yang saling berkaitan satu sama lainnya. Kebudayaan ini umumnya berupa alat dari batu kali yang bulat. Sering disebut sebagai ‘batu teras’ karena hanya dikerjakan satu sisi, sedangkan sisi yang lain dibiarkan tetap licin.
Sumateralith adalah salah jenis peralatan manusia pra aksara Indonesia yang berfungsi sebagai alat penetak, pemecah, pemotong, pelempar, penggali, dan lain-lain. Alat ini ditemukan di Sumatera dalam jumlah yang sangat banyak. Penemuan ini merupakan fenomena yang menarik karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat pada waktu itu. Sekurang-kurangnya, penemuan itu merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat sudah semakin maju dengan kebutuhan yang semakin tinggi.
Hasil kebudayaan Toale dan yang serumpun umumnya, berupa kebudayaan ‘flake’ dan ‘blade’. Kebudayaan ini mendapat pengaruh kuat dari unsur ‘microlith’ sehingga menghasilkan alat-alat yang berukuran kecil dan terbuat dari batu yang mirip dengan ‘batu api’ di Eropa. Di samping itu, ditemukan alat-alat yang terbuat dari tulang dan kerang. Alat-alat ini sebagian besar merupakan alat berburu atau yang dipergunakan para nelayan.
Kebudayaan-kebudayaan yang mirip dengan kebudayaan Toale ditemukan di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan Besuki); di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci dan goa-goa di Jambi); di Flores, di Timor, dan di Sulawesi. Di bawah ini adalah salah satu hasil kebuadayaan Toale dari Sulawesi Selatan yang memiliki ukuran lebih kecil, tetapi tampak lebih tajam dibandingkan dengan kapak genggam, kapak perimbas, atau jenis
kapak lainnya.
Di samping alat-alat yang terbuat
dari batu, juga ditemukan alat-alat yang
terbuat dari tulang dan tanduk. Kedua
jenis alat ini termasuk dalam hasil
kebudayaan Toale.
Sementara, kebudayaan Sampung
merupakan kebudayaan tulang dan tanduk yang
ditemukan di desa Sampung, Ponorogo. Barang
yang ditemukan berupa jarum, pisau, dan sudip.
Pada lapisan yang lain telah ditemukan ‘mata
panah’ yang terbuat dari kapur membatu. Di
samping itu ditemukan juga beberapa kerangka
manusia dan tulang binatang buas yang dibor
(mungkin sebagai perhiasan atau jimat).
Tentang persebaran kebudayaan Toale tidak
diketahui secara. Namun, beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa kebudayaan ini telah
berkembang di Sulawesi dan Flores.
Kira-kira 1000 tahun SM, telah datang bangsa-
bangsa baru yang memiliki kebudayaan lebih maju
dan tinggi derajatnya.
Mereka dikenal sebagai bangsa Probo Melayu
dan Deutro Melayu. Beberapa kebudayaan mereka
yang terpenting adalah sudah mengenal
pertanian, berburu, menangkap ikan,
memelihara ternak jinak (anjing, babi,
dan ayam).
Sistem pertanian dilakukan dengan
sederhana. Mer eka menanam tanaman
untuk beberapa kali dan sesudah itu
ditinggalkan. Mereka berpindah ke tempat
lain dan melaksanakan sistem pertanian yang
sama untuk kemudian berpindah lagi. Sistem
pertanian itu sangat tidak ekonomis, tetapi
lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Mereka
mulai hidup menetap, meski untuk waktu yang
tidak lama. Mereka telah membangun pondok-
pondok yang berbentuk persegi empat siku-siku, didirikan di atas
tiang-tiang kayu, diding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang
indah.
Sedangkan peralatan yang mereka pergunakan masih terbuat dari batu, tulang, dan tanduk. Meskipun demikian, peralatan itu telah dikerjakan lebih halus dan lebih tajam. Pola umum kebudayaan dari masa neolitikum adalah pahat persegi panjang. Alat-alat perkakas yang terindah dari kebudayaan ini ditemukan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan karena terbuat dari batu permata. Di samping itu, ditemukan beberapa jenis kapak (persegi dan lonjong) dalam jumlah yang banyak dan mata panah.
Berbagai jenis kapak yang ditemukan memiliki fungsi yang yang hampir. Pada masa neolitikum, perkembangan kapak lonjong dan beliung persegi sangat menonjol. Konon kedua jenis alat ini berasal dari daratan Asia Tenggara yang masuk ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur. Persebaran kapak lonjong dan beliung persegi dapat dilihat dalam peta di bawah ini.
Berdasarkan hasil penelitian, peralatan manusia purba banyak ditemukan di berbagai wilayah, seperti daerah Jampang Kulon (Sukabumi), Gombong (Jawa Tengah), Perigi dan Tambang Sawah (Beng-kulu), Lahat dan Kalianda (Sumatera Selatan), Sembiran Trunyan (Bali), Wangka dan Maumere (Flores), daerah Timor Timur, Awang Bangkal (Kalimantan Timur), dan Cabbenge (Sulawesi Selatan). Beberapa peralatan yang penting dan banyak ditemukan, di antaranya:
Kapak perimbas. Kapak perimbas tidak memiliki tangkai dan digunakan dengan cara menggenggam. Kapak ini ditemukan hampir di daerah yang disebutkan di atas dan diperkirakan berasal dari lapisan yang sama dengan kehidupan Pithecanthropus. Kapak jenis juga ditemukan di beberapa negara Asia, seperti Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Pilipina sehingga sering dikelompokkan dalam kebudayaan Bascon-Hoabin.
Kapak penetak. Kapak penetak memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih besar dan kasar. Kapak ini digunakan untuk membelah kayu, pohon, dan bambu. Kapak ini ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Kapak genggam. Kapak genggam memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih kecil dan belum diasah. Kapak ini juga ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Cara menggunakan kapak ini adalah menggenggam bagian yang kecil.
Pahat genggam. Pahat genggam memiliki bentuk lebih kecil dari kapak genggam. Menurut para ahli, pahat ini dipergunakan untuk menggemburkan tanah. Alat ini digunakan untuk mencari ubi-ubian yang dapat dimakan.
Alat serpih. Alat ini memiliki bentuk yang sederhana dan ber-dasarkan bentuknya alat diduga sebagai pisau, gurdi, dan alat penusuk. Alat ini banyak ditemukan di gua-gua dalam keadaan yang utuh. Di samping itu, alat ini juga ditemukan Sangiran (Jawa Tengah), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Maumere (Flores), dan Timor.
Alat-alat dari tulang. Tampaknya, tulang-tulang binatang hasil buruan telah dimanfaatkan untuk membuat alat seperti pisau, belati, mata tombak, mata panah, dan lain-lainnya. Alat-alat ini banyak ditemukan di Ngandong dan Sampung (Ponorogo). Oleh karena itu, pembuatan alat-alat ini sering disebut kebudayaan Sampung.
Blade, flake, dan microlith. Alat-alat ini banyak ditemukan di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan Besuki); di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci dan gua-gua di Jambi); di Flores, di Timor, dan di Sulawesi. Semua alat-alat itu sering disebut sebagai kebudayaan Toale atau kebudayaan serumpun.
Di samping kebudayaan material, masyarakat pra aksara telah memiliki atau menghasilkan kebudayaan rohani. Kebudayaan rohani mulai muncul dalam kehidupan manusia, ketika mereka mulai mengenal sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan telah muncul sejak masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. Kuburan merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat telah memiliki anggapan tertentu dan memberikan penghormatan kepada orang telah meninggal. Masyarakat percaya bahwa orang yang meninggal, rohnya akan tetap hidup dan pergi ke suatu tempat yang tinggi. Bahkan, jika orang itu berilmu atau berpengaruh dapat memberikan perlindungan atau nasihat kepada mereka yang mengalami kesulitan.
Sistem kepercayaan masyarakat terus berkembang. Penghormatan kepada roh nenek moyang dapat dilihat pada peninggalan-peninggalan berupa tugu batu seperti pada zaman megalitikum. Peninggalan megalitikum lebih banyak ditemukan pada tempat-tempat yang tinggi. Hal itu sesuai dengan kepercayaan bahwa roh nenek moyang bertempat tinggal pada tempat yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa manusia mulai menyadari kehidupannya berada di tengah-tengah alam semesta. Manusia menyadari dan merasakan adanya kekuatan yang maha dahsyat di luar dirinya sendiri. Kekuatan itulah yang kemudian di-ketahui berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang menciptakan, menghidupkan, memelihara, dan membinasakan alam semesta. Dari kepercayaan itu, selanjutnya berkembang kepercayaan yang bersifat animisme, dinamisme, dan monoisme. Animisme adalah kepercayaan bahwa setiap benda memiliki roh atau jiwa. Dinamisme merupakan kepercayaan bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib. Sedangkan monoisme merupakan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sebenarnya, zaman megalitikum bukan kelanjutan dari zaman batu sebelumnya. Megalitikum muncul bersamaan dengan zaman mesolotikum dan neolitikum. Pada zaman batu pada umumnya, muncul kebudayaan batu besar (megalitikum) seperti menhir, batu berundak, dolmen, dan sebagainya.
Sementara, zaman logam dibedakan menjadi 3 (tiga) zaman, yaitu: (1) zaman Tembaga, (2) zaman Perunggu, dan (3) zaman Besi. Namun, zaman Tembaga tidak pernah berkembang di Indonesia. Dengan demikian, zaman logam di Indonesia dimulai dari zaman Perunggu. Beberapa peninggalan dari zaman logam, di antaranya adalah nekara, bejana, dan kapak yang terbuat dari perunggu, serta belati dari besi.
 



No comments: