PENINGKATAN PERAN SERTA MASYARAKAT
DALAM PERLUASAN AKSES DAN PEMERATAAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh
IBRAHIM BEWA
Abstrak
Tulisan ini berkenaan dengan masalah pentingnya peran serta masyarakat
dalam meningkatkan perluasan
akses dan pemerataan mutu pendidikan . Pemerintah Aceh sesuai dengan Qanun No. 5 tahun 2008 tentang
penyelenggaraan pendidikan telah mewajibkan setiap warganya yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan
belas) tahun untuk mengikuti
pendidikan dasar dan menengah. Qanun ini telah diberlakukan selama 4
tahun, namun Angka Partisipasi Sekolah masih rendah terutama tingkat
SMA/sederajat yang Angka Partisipasi Kasarnya (APK) baru mencapai sekitar 78,64
%, maka Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Kota sangat
mengharapkan partisipasi masyarakat dalam menuntaskan wajar 12 tahun dan pelayanan pendidikan yang bermutu dan
terjangkau bagi semua penduduk usia 7-18 tahun. .Disamping
membahas akses dan mutu, penerapan pendidikan islami untuk membentuk akhlakul
karimah siswa juga dibahas dengan menggunakan pendekatan yang sama. Ketiga isu kritis yang telah
dibahas dengan mengunakan pendekatan gap analysis hendaknya dapat dijadikan
bahan masukan bagi pemerintah melalui dinas teknis dan masyarakat untuk
menyusun rencana program dan kegiatan indikatif serta rencana pembiayaan dan
sumber dana baik yang berasal dari APBN, APBA, APBK maupun dari pihak lainnya
yang tidak mengikat.
Kata Kunci : Peran Serta
Masyarakat, Mutu Pendidikan
I.
Pendahuluan
Upaya peningkatan akses dan mutu pendidikan merupakan hal yang tidak akan
pernah berhenti selama manusia mempunyai harapan akan mutu kehidupan yang lebih
baik bagi keberlangsungan peradaban. Semua kita bercita cita untuk dapat
mewariskan generasi yang lebih baik ke depan. Generasi penerus kita harus lebih bermoral, taat beribadah
dan memiliki perdaban yang tinggi. Ini tentu saja merupakan harapan kita semua
dan kita wujudkan melalui penyediaan layanan pendidikan yang bermutu. Oleh
sebab itu semua fihak, baik pemangku kepentingan (stake-holders) dekat
atau jauh, yang terkait dengan peningkatan akses dan mutu pendidikan mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing
dalam konteks kesisteman, dan jelas akan memberi andil yang signifikan,
disadari atau tidak, terhadap mutu pembangunan pendidikan, karena secara
filosofis pendidikan itu adalah kehidupan itu sendiri dengan lingkungannya
masing-masing.
II.
Bentuk Peran
masyarakat dalam dunia pendidikan
Masyarakat sebagai salah satu
unsur pemangku kepentingan (stake-holders) dalam urusan pendidikan mempunyai
peran penting dan strategis, karena pendidikan itu berlangsung di tengah tengah
kehidupan mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan ungkapan Menteri Pendidikan
dan Pelatihan, Ontario, Kanada yaitu sekolah-sekolah kita terletak pada jantung
masyarakat. Mereka memiliki satu tradisi yang kaya tentang keikutsertaan
orangtua dan masyarakat dalam pendidikan. Peran masyarakat dalam dunia
pendidikan juga telah ditetapkan dalam Pasal 188 (2) PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, peran serta masyarakat telah
dirumuskan sebagai berikut. Masyarakat menjadi sumber, pelaksana, dan pengguna
hasil pendidikan. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai peran dalam
bentuk (a) penyediaan sumber daya pendidikan, (b) penyelenggaraan satuan
pendidikan, (c) penggunaan hasil pendidikan, (d) pengawasan penyelenggaraan
pendidikan, (e) pengawasan pengelolaan pendidikan, (f) pemberian pertimbangan
dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pemangku kepentingan pendidikan
pada umumnya; dan/atau (g) pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan
pendidikan dan/atau penyelenggara satuan pendidikan dalam menjalankan
fungsinya. Cukup banyak dan beragam kemungkinan peran yang dapat ditunaikan
oleh masyarakat dalam urusan pendidikan.
Peran masyarakat tersebut di
atas tentunya sangat berat dan bagaimana pelaksanaannya dapat dipedomani dalam
rumusan Pasal 188 (1) bahwa ”Peran serta masyarakat meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan”. Bahkan dalam Pasal 188 (4) dinyatakan bahwa peran serta masyarakat
secara khusus dapat disalurkan melalui dewan pendidikan tingkat nasional, dewan
pendidikan tingkat provinsi, dewan pendidikan tingkat kabupaten/kota, komite
sekolah, dan atau organ representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan.
Itulah sebabnya, dewan pendidikan, mulai dari dewan pendidikan tingkat
nasional, provinsi, sampai dengan kabupaten/kota, serta komite sekolah
diposisikan menjadi wadah peran serta masyarakat yang paling dominan untuk
meningkatkan mutu akses dan layanan pendidikan.
Komite Sekolah merupakan wujud
dari Manajemen Berbasis Sekolah dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan No. 44
Tahun 2002 merupakan konsep pengelolaan sekolah yang ditujukan untuk
meningkatkan mutu pendidikan di era otonomi pendidikan. Majelis Pendidikan
Daerah (MPD) kabupaten/kota ( Dewan Pendidikan) diharapkan dapat berperan melakukan pengawasan terhadap komite
sekolah. “Selama ini, MPD belum menunjukkan perannya melakukan pengawasan
terhadap komite sekolah dan dunia pendidikan di daerah. MPD harus memantau dan
memastikan Komite Sekolah berperan dan menjalankan fungsi dengan transparan.MPD
juga diharapkan untuk melakukan
pengawasan dan evaluasi kinerja dan tata cara pemilihan pengurus Komite
Sekolah,” Mengapa MPD belum melakukan tugas ini? Jawabannya adalah karena MPD
belum mendapatkan alokasi anggaran dari pemerintah daerah untuk kegiatan ini,
kecuali MPD Aceh Utara yang telah memiliki Qanun N0. 5 tahun 2009 akan
mendapatkan anggaran untuk mendukung tugas ini.
III.
Isu-isu
kritis tentang akses dan mutu pendidikan
Untuk pemaparan selanjutnya,
kita akan melihat dan mengkaji 3 isu kritis bidang pendidikan yang disampaikan
oleh pihak pihak pemangku kepentingan pendidikan yaitu:
1. Wajib
Belajar Pendidikan 12 tahun sesuai dengan Qanun no. 5 tahun 2008 telah
berlangsung selama 3 tahun, namun Angka Partisipasi Sekolah SMU/MA/SMK masih
rendah..
2. Kemampuan
Siswa SMA/sederajat di Aceh paling rendah atau terbodoh di Sumatra. Ucapan
Prof. Dr. Samsul Rizal, Pembantu Rektor
Bidang Akademik Unsyiah ( baca
harian Aceh tgl. 5 Mei 2011)
3. Kebanyakan
siswa kita sekarang kurang bermoral
karena pelaksanaan pendidikan islami di sekolah belum diterapkan secara kaffah,
Ucapan Ustad Amirullah Muhammadiyah, LC. M. Ag. Mantan Ketua MPU Aceh Utara.
Ketiga isu kritis di atas akan
dibahas dalam tulisan ini dengan menggunakan pendekatan Gap Analysis (Gap
analysis consists of defining the present state, the desired or `target' state
and hence the gap between them. In the later stages of problem solving the aim
is to look at ways to bridge the gap defined and this may often be accomplished
by backward-chaining logical sequences of actions or intermediate states from
the desired state to the present state) yaitu dengan cara mengungkapkan kondisi yang
ada sekarang, kondisi ideal yang
diinginkan, analisa kesenjangan, penentuan strategi pemecahan masalah dan dampak yang ditimbulkan. Pembahasan isu
tersebut hanya difokuskan pada level sekolah menengah saja yang ada di Aceh sebagai sample obyek pembahasan, sekaligus
dikaitkan dengan tingkat peran serta masyarakat dalam mengatasi ketiga isu
tersebut.
A.
Pemerataan
dan perluasan akses pendidikan menengah
1) Kondisi yang ada
Pemerataan dan perluasan akses dalam rangka
pelaksanaan Qanun N0. 5 tahun 2008 diarahkan pada upaya memperluas daya tampung
satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah serta untuk memperoleh kesempatan yang lebih luas bagi semua anak usia 16-18 tahun dengan tidak
membedakan golongan masyarakat baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi
tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik.
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan menengah di Provinsi Aceh dilakukan
bersama – sama oleh pemerintah, swasta dan masyarakat.
Pada tahun 2010 jumlah lembaga pendidikan jenjang SMA/MA/SMK di Provinsi
Aceh sebanyak 668 unit,
terdiri dari 260 unit SMA
Negeri, 101 unit SMA Swasta, 68 unit MA Negeri, 128 unit MA Swasta, 76 unit SMK Negeri dan 35 unit SMK Swasta.. Jumlah penduduk usia 16-18 tahun di Provinsi
Aceh pada tahun 2010 sebanyak 273.720
jiwa, sedangkan peserta didik yang sedang
berada di jenjang Pendidikan Menengah sebanyak 215.266 siswa, yang berasal
dari SMA sebanyak 141.424 siswa, MA sebanyak 42.915 siswa dan SMK sebanyak 30.887
siswa.( Sumber data dari Aceh Dalam Angka 2010) Jika dibandingkan jumlah
penduduk usia 16-18 tahun dengan jumlah peserta didik, maka didapati Angka
Partisipasi Kasar (APK) baru mencapai 78,64
% atau masih terdapat kekurangan siswa sebanyak 58.494 (21,36 %). Hal ini
menunjukkan bahwa masih ada sebanyak 58.494 siswa yang tidak berada pada
jenjang pendidikan menengah.:Bila dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) selama
tiga tahun terkhir yaitu 72,36 % pada tahun 2007, 72,32 % pada tahun 2008, dan
72,72% pada tahun 2009, maka kenaikan persentase APS sangat kecil, malah
terjadi penurunan pada tahun 2008.
Untuk
meningkatkan perluasan Akses pendidikan menengah, Pemerintah dan masyarakat
telah membangun 668 unit SMA/MA/SMK di 23 kabupaten/kota atau 276 kecamatan yang
ada di Provinsi Aceh. Namun masih terdapat beberapa kecamatan seperti Pirak Timu di Kabupaten Aceh
Utara yang belum memiliki SMA/sederajat karena kecamatan ini termasuk kecamatan
baru dan penduduk usia sekolah menengah masih bersekolah di kecamatan induk.
2)
Kondisi Ideal
Secara nasional wajar 9 tahun telah berlangsung sejak tahun 2004, hal ini sesuai dengan Inpres Nomor 1 tahun 1994 tentang Pelaksanaan
Wajar Pendidikan Dasar dinyatakan bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990
tentang Pendidikan Dasar. Sebagai tindak lanjut Inpres di atas, telah
dikeluarkan Keputusan Menkokesra Nomor: 22 / Kep /Menko/ Kesra/ IX/ 2006
tentang pembentukan Tim Koordinasi Nasional Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Khusus untuk Propinsi Aceh. Wajib Belajar telah ditingkatkan dari wjar 9 tahun menjadi
wajar 12 tahun sesuai dengan Qanun No. 5 tahun 2008 tentang penyelenggaraan
pendidikan yang menyatakan bahwa setiap penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh)
sampai dengan 18 (delapan belas) tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan
menengah, maka peningkatan perluasan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan
menengah yang bermutu dan terjangkau bagi semua penduduk usia 16-18 tahun.
Berdasarkan ketentuan Wajar 12 tahun, semestinya
kenaikan APS dapat ditingkatkan minimal dalam 3 tahun ini APK SMA/sederajat
telah meningkat dari 72,32%, pada tahun 2008 menjadi 81, 32 % pada tahun 2010 Idealnya APS dapat dinaikkan sekitar 3 % pertahun sehingga wajar 12 thaun
akan tuntas pada tahun 2017. Begitu juga dengan jumlah sekolah
SMA/sederajat dapat dibangun satu unit di setiap kecamatan yang telah memiliki satu unit SMP/MTs yang jumlah
muridnya memadai..
3)
Gap Analisis
Berdasarkan data di atas APK/APS penduduk usia 16-18 tahun di Provinsi
Aceh masih rendah. Artinya masih terdapat sekitar 58.494 lagi penduduk
usia sekolah untuk tingkat menengah yang tidak berada di banku sekolah. Kalau kita bandingkan dengan APK tingkat
nasional yang baru mencapai 69.91% pada tahun 2010, Provinsi Aceh sudah mencapai
78,64 % berarti APS kita sudah nbaik, namun dengan adanya wajar 12 tahun
seharusnya peningkatan lebih baik lagi. Kalau dilihat dari jumlah lembaga yang
sudah mencapai 668 unit, maka penambahan USB (Unit Sekolah Baru) tidak diperlu
lagi kecuali untuk beberapa kecamatan
seperti Kecamatan Pirak Timu. Dengan kata lain APK/APS rendah bukan disebabkan
oleh terbatasnya daya tampung di Provinsi Aceh tetapi lebih disebabkan oleh
faktor lain seperti faktor ekonomi dan kesadaran orang tua/masyarakat.
4)
Usulan Strategi Pemecahan Masalah
Dalam rangka peningkatan Pemerataan dan Perluasan
Akses layanan pendidikan jenjang SMA/MA/SMK, Pemerintah Aceh bersama-sama dengan
masyarakat dan Swasta dapat
melakukan berbagai kegiatan antara lain sebagai berikut:
(1).
Memaksimalkan
peran Komite Sekolah untuk melakukan pendataan penduduk usia sekolah yang tidak
sekolah/putus sekolah di daerahnya masing-masing dan melaporkannya ke MPD dan
pihak terkait untuk melakukan penjemputan paksa agar semua mereka harus
bersekolah.
(2).
Membangun
1 USB SMA/sederajat di kecamatan yang belum memiliki lembaga sekolah menengah
seperti Kecamatan Pirak Timu untuk menampung tamatan SMP/MTs di daerah tersebut,
serta membangun 1 unit MA model dan1 unit Sekolah Boarding School di setiap
kabupaten/kota sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Provinsi Aceh yang
merupakan target untuk penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan secara bertahap dan berkelanjutan sehingga tahun 2017
semua anak usia 16-18 tahun dalam wilayah Provinsi Aceh sudah mendapat layanan
Pendidikan jenjang SMA/MA/SMK yang bermutu.
(3).
Melakukan
Rehabilitasi dan pembangunan kembali gedung sekolah serta pengadaan Mobiler
baik yang rusak/hancur akibat konflik, bencana alam, maupun dimakan usia.
(4).
Mengupayakan
Peningkatan pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan beasiswa bagi anak kurang mampu dan berprestasi, dengan tidak
membedakan Sekolah Negeri maupun Swasta.
5)
Dampak
(1).
Komite
Sekolah akan lebih aktif dalam melakukan peran dan fungsinya dalam pendataan semua
penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah sehingga tersedianya data akurat
untuk memudahkan pengambilan kebijakan yang tepat oleh pihak-pihak
berkepentingan.
(2).
Pembangunan
Unit Sekolah Baru baik untuk SMA/MA/SMK tentunya ditargetkan untuk adanya
pemerataan dan perluasan akses kesempatan belajar bagi siswa, sehingga untuk
bersekolah siswa tidak harus menempuh jarak yang jauh dari tempat tinggal
mereka.
(3).
Pembangunan
satu Unit Sekolah Unggul diharapkan dapat meningkatkan pelayanan mutu
pendidikan di sekolah. Hal ini dimaksudkan supaya peserta didik setelah
menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA benar-benar siap untuk melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi, untuk MA model sesuai dengan otonomi yang
diberikan untuk Provinsi Aceh, berkaitan pelaksanaan syariat islam di sekolah.
Madrasah Aliyah Model nantinya akan menghasilkan lulusan-lulusan yang
berkualitas yang dapat menjadi contoh dalam pelaksanaan syariat islam.
(4).
Pelaksanaan
rehabilitasi baik gedung sekolah maupun mobiler sekolah, merupakan hal penting
yang perlu dilakukan. Rehabilitasi dibutuhkan bisa terjadi karena gedung atau
mobiler rusak akibat usia, bencana alam dan lain-lain, sehingga dengan
rehabilitasi diharapkan baik gedung maupun mobiler kembali dapat digunakan dan
layak pakai, aksesnya diharapkan peningkatan pelayanan bagi siswa dalam proses
belajar mengajar.
(5).
Pemberian Bantuan Operasional Sekolah dan Beasiswa bagi siswa kurang mampu
selama ini telah dilaksanakan namun belum memadai. Untuk itu diharapkan yang
akan datang tentu harus ada peningkatan baik dari segi jumlah penerima maupun
besaran dana yang diberikan kepada siswa dan sekolah. Bantuan Operasional yang
dikelola oleh sekolah juga ditujukan untuk meringankan beban sekolah dalam
pelaksanaan proses pembelajaran sehingga dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Bantuan Beasiswa bagi siswa miskin diharapkan dapat berdampak
positif bagi kelangsungan pendidikan mereka, dimana mereka dapat menggunakan
langsung bantuan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan mereka sehari-hari,
sehingga para orangtua/wali siswa yang kurang mampu tidak terbebani lagi dengan
biaya pendidikan anaknya. Bagi siswa yang berprestasi juga diberikan beasiswa
dengan tidak melihat apakah si anak dari keluarga mampu atau kurang mampu, ini
di realisasikan supaya si anak maupun peserta didik lainnya termotivasi untuk
terus belajar dan bersaing menjadi yang lebih unggul dalam semua mata pelajaran
di kelas.
B.
Mutu Kelulusan
Sekolah Menengah
1) Kondisi yang ada
Mutu pendidikan Aceh pada saat ini belum
mengembirakan terutama pada jenjang pendidikan menengah, hal ini terlihat dari
hasil Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)
se-Indonesia tahun 2009 dan
2010. Hasil SNMPTN 2009 yang dipublikasikan melalui media massa (baca Serambi Indonesia (SI), 30/6, 6 dan 10/8 2009) lulusan SMA/SMK/MA dari Provinsi Aceh menduduki
rangking 33 untuk jurusan IPA dan rangking 31 untuk jurusan IPS dari 33
provinsi di Indonesia, sedangkan tahun 2010 terjadi penigkatan yang signifikan
yaitu rangking 26 untuk jurusan IPA dan 23 untuk jurusan IPS, namun masih
terendah di Sumatra ( baca Harian Aceh
tgl. 5 Mei 2011) ungkap Prof Dr. Samsul Rizal Pembantu Rektor bidang Akademik.
Kondisi ini tidak bertahan lama karena hasil SNMPTN 2011 menurun tajam dan Aceh
kembali menjadi guru kunci yaitu berada pada ranking 33 dari 33 propinsi di
Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Aceh yang diwakili oleh Asisten
III di depan Prof Dr. Fasli Jalal (Wakil Mendiknas) pada seminar Pendidikan
yang dilaksanakan oleh MPD Aceh baru baru ini di Aula Serba Guna Kantor
Gubernur Aceh.
Pada tahun 2010 jumlah guru SMA/SMK/MA di Provinsi
Aceh sudah mencapai 22.429 yang ditempatkan pada 668 unit sekolah dengan jumlah
ruang kelas 6920 dan peserta didik sebanyak 215.226 Dengan kata lain rasio guru permurid sudah
mencapai 1: 10, sedangkan secara nasional 1: 19. Dilihat dari jumlah
guru yang tersedia telah melebihi, namun penyebarannya belum merata karena
mereka terpusat di daerah-daerah perkotaan. . Begitu juga dengan jumlah guru
SMK sebanyak 3.622 dengan jumlah siswa 30.887 tersebar pada 111 unit sekolah
dengan ruang kelas sebanyak 1.905 sudah jauh berlebih. Artinya dilihat dari
segi rasio guru persiswa sudah mencapai 1:9, jauh melebihi ketentuan nasional
1:15. Namun juga disadari jumlah guru produktif masih sangat terbatas.
2) Kondisi
Ideal
Mutu kelulusan jenjang pendidikan menengah
diharapkan dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun sehingga posisi Aceh tidak
lagi jadi juru kunci pada SNMPTN se-Indonesia ke depan. Tingkat kelulusan SNMPTN
diharapkan dapat mencapai ranking di bawah 20. Ketersediaan guru yang
professional dan cukup pada sekolah menengah sangat diperlukan untuk
meningkatkan mutu lulusan. Jumlah guru yang berlebihan dengan
rasio 1:10 dan tertumpuk pada sekolah sekolah tertentu tidak menguntungkan bagi
pemerataan mutu pendidikan di provinsi Aceh. Idealnya semua sekolah baik yang berada di
kota maupun di desa harus menjamin ketersediaan guru yang memadai dan bermutu.
Posisi Aceh yang berada pada ranking ke 26 pada tahun 2010 dan ranking 33 pada tahun
2011dari belum sesuai dengan harapan pemangku kepentingan. Untuk itu mutu
lulusan SMA/SMK/MA ke depan harus
dapat ditingkatkan menjadi 15 besar dari 33 provinsi.
3) Gap
Analisis
Tingkat kelulusan ujian SNMPTN 2009,
2010 dan 2011 telah membuktikan bahwa memang mutu pendidikan kita masih rendah.
Hal ini sesuai apa yang telah diungkapkan oleh Pak Samsul Rizal, Pembantu
Rektor Unsyiah. Pemerintah Aceh bersama masyarakat diharapkan dapat memberikan perhatian
yang lebih serius untuk peningkatan akses dan mutu pendidikannya. Keseriusan
ini dapat diukur sejauh mana pemerintah dapat mengalokasikan anggaran untuk
kepentingan peningkatan akses dan mutu serta sejauh mana peran serta masyarakat
dalam mengawasi pengelolaan dana dan proses pembelajaran di sekolah.
“Komite
Sekolah sebagai perwakilan masyarakat seharusnya menjadi pengawas terdepan
untuk mengawal jalannya pendidikan dan memberdayakan sekolah. Namun
kenyataannya banyak yang menilai Komite Sekolah di Provinsi Aceh belum menjalankan perannya dengan benar,” kata
Dr Sujiman Amusa, MA Ketua MPD Aceh Utara, dalam diskusi Pengawasan Penggunaan
dana BOS di Kantor MPD, Selasa, 10/5/2011.
Berdasarkan data di atas, dapat
disimpulkan bahwa secara kuantitas guru telah banyak berlebih terutama pada SMK
(1:9), namun secara kualitas masih perlu dipertanyakan, terutama mata pelajaran
eksakta dan bahasa Inggris pada SMA dan guru produktif pada SMK. Ke depan perhatian
pemerintah harus lebih diutamakan pada program-program software seperti IT,
pelatihan guru, menghidupkan MGMP untuk mengejar ketinggalan mutu.
Target kelulusan diupayakan pada tahun 2015,
Aceh harus mencapai
nilai rata-rata UN 7.50 dan
SNMPTN berada di bawah level 15 dari 33 provinsi di Indonesia sejalan dengan terus dilakukan pembenahan tentang
pengelolaan manajemen sekolah dan pembinaan proses pembelajaran.
4) Usulan Pemecahan Masalah
Dalam rangka
upaya peningkatan mutu pendidikan maka pemerintah Provinsi
Aceh melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga seyogianya melakukan upaya -
upaya sebagai berikut;
(1).
Memaksimalkan
peran komite sekolah untuk meningkatkan disiplin pelaksanaan proses
pembelajaran. Bila ada siswa dan guru yang bolos pada saat jam pembelajaran,
komite sekolah mempunyai kewenangan untuk melakukan teguran
(2).
Pemerintah
melalui dinas teknis segera melakukan pemetaan dan pemerataan guru sesuai
dengan kebutuhan sekolah
(3).
Mengupayakan penambahan jam belajar dengan materi
pembelajaran yang spesifik dan
pelaksanaan try out secara teratur terutama pada siswa kelas 3
(4).
Mengupayakan peningkatan kegiatan pelatihan guru dan
memaksimalkan kegiatan MGMP baik tingkat sekolah, kecamatan maupun tingkat
kabupatren/kota.
(5).
Mengupayakan peningkatan dana BOS baik bersumber dari dana APBN, APBA maupun APBK dan pengadaan sarana/prasarana penunjang peningkatan mutu belajar yang
memadai.
5)
Dampak
Sesuai dengan strategi yang ditempuh untuk
memenuhi standar penyelenggaraan pendidikan mutu kelulusan sebagai berikut ;
(1). Komite Sekolah akan lebih aktif dalam
melakukan peran dan fungsinya untuk mengawasi proses pembelajaran di
sekolahnya.
(2). Terjadinya pemerataan guru sesuai dengan
kebutuhan sekolah/madrasah sehingga tidak ada lagi terjadi penumpukan guru pada
sekolah/madrasah tertentu.
(3). Adanya
penambahan jam belajar dengan materi pembelajaran yang spesifik terbiasanya siswa menghadapi ujian SNMPTN
melalui try out sekaligus dapat mengakur kemampuannya.
(4). Terjadinya peningkatan kemampuan
profesionalisme guru di semua sekolah/madrasah dalam hal pemahaman penerapan kurikulum yang
relevan.
(5). Meningkatnya anggaran sekolah dan tersedianya
sarana/prasarana penunjang peningkatan mutu belajar yang
memadai.
C.
Penerapan Pendidikan Islami di sekolah.
1) Kondisi
yang ada
Pendidikan yang bernuansa islami pada dasarnya
hendak mengembangkan pandangan hidup islami, yang diharapkan tercermin dalam
sikap hidup dan ketrampilan peserta didik yang diproses dan dibangun melalui
pendidikan dalam upaya menanamkan atau menumbuhkembangkan ajaran islam dan nilai
nilainya untuk dijadikan sebagai pedoman hidup, yang diwujudkan dalam sikap
hidup dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya sehari hari, sehingga setiap
perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan nilai-nilai moral
keislaman.
Penerapan pendidikan islami dalam pembelajaran
perlu dilakukan oleh semua guru terutama yang menyangkut nilai nilai keislaman,
pelaksanaan syariat islam di sekolah
akan lebih mudah dilaksanakan. Selama ini pelaksanaan syariat islam di sekolah
masih terbatas pada pakaian, pemisahan anak lelaki dan perempuan di dalam kelas
dan penambahan jam pelajaran agama, ini pun baru sebagian kecil sekolah yang
menerapkannya. Padahal yang diharapkan adalah perubahan prilaku peserta didik
yang prilaku jelek, tidak bermoral,
menjadi anak yang cerdas dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai nilai
islami.
2) Kondisi yang ideal
Manusia sebagai makluk Allah yang progressif,
dinamis dan inovatif membutuhkan sarana untuk mengembangkan diri secara dinamis
dan berkelanjutan. Salah satu media yang paling tepat untuk mengembangkan potensi dan
dinamisasi diri adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan institusi
tempat menempa diri manusia. Melalui pendidikan yang islami peserta didik dapat
dibimbing dan diarahkan untuk menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berbudi
luhur dan beraklak mulia.
Lembaga pendidikan yang menerapkan pendidikan
islami memerlukan kurikulum yang islami. Kurikulum tersebut adalah segala
bentuk atau sejumlah mata pelajaran, segala aktifitas dan kegiatan pembelajaran
dalam proses pewarisan atau penanaman
nilai, ilmu, pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan yang dapat
mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang beriman, berilmu,
berketrampilan dan beraklak mulia.
Kurikulum pendidikan islami adalah suatu bentuk
kurikulum yang integrated (terpadu) yang dapat menggabungkan aspek-aspek material dan spritual pendidikan,
aspek dunia dan akhirat serta aspek IQ, EQ dan SQ seara senergis, simultan dan komprehensif. Perlu dipahami bahwa
Islam tidak mengenal adanya dikotomi ilmu pengetahuan karena semua ilmu itu
adalah milik Allah. Dengan kata lain, tidak ada istilah ilmu islam dan ilmu non
islam, baik ilmu yang berkaitan langsung dengan materi agama seperti ilmu
Tauhid, Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Figih maupun ilmu yang bersifat umum seperti
Fisika, Kimia, Biologi, Astronomi dll adalah ilmu Allah.
Sejalan dengan konsep di atas, semua guru mata
pelajaran berkewajiban mendidik siswa siswi menjadi seorang muslim yang sejati,
bukan mengajarkan tentang islam kepada mereka sebagai suatu pengantar sebagai
mata pelajaran agama, mengisi otak atau pikiran dengan informasi tentang islam
tetapi mengajarkan mereka bagaimana menjadi seorang islam yang memiliki dan
memahami nilai nilai keislaman.
Idealnya semua guru mata pelajaran, mampu
mengajarkan nilai nilai dan hal hal yang dapat menguatkan identitas dan
kehormatan diri ummat islam sehingga generasi muda muslim akan dapat terhindar
dari dekadensi moral dan spritual sebagai akibat dari interaksi sosial dengan
masyarakat dunia yang semakin global dan tak terbatas.
Berdasarkan konsep dan praktek pendidikan berbasis
nilai islami, diharapkan semua guru dan tenaga kependidikan di Provinsi Aceh
berupaya mengintegrasikan nilai islami dalam semua mata pelajaran yang
diajarkan di sekolahnya masing-masing, baik pelajaran keagamaan seperti tauhid,
tafsir, dan fiqih maupun pelajaran umum seperti fisika dan kimia, sehingga
dikhotomi mata pelajaran atas bagian agama dan umum dapat dihilangkan.
3)
Gap Analisis
Pelaksanaan proses pembelajaran khususnya mata
pelajaran agama masih menitik beratkan pada sifat keilmuan dan ketrampilan
kurang memperhatikan penerapan nilai-nilai islami seperti berahklak mulia,
disiplin, jujur, amanah, gigih, bersih, rajin dan taat beribadah. Disamping itu
masih banyak guru yang menganggap bahwa tugas pembinaan peserta didik bidang
agama merupakan tanggung jawab guru agama semata dan para guru lainnya hanya
bertugas mengajarkan materi pelajaran sesuai dengan bidang tugasnya, dengan
kata lain tidak mengkaitkan materi pelajaran dengan nilai-nilai keislaman.
Semua guru mata pelajaran di sekolah/madrasah
diminta untuk mengkaitkan materi pelajaran dengan nilai-nilai ke islaman dan
secara bersama sama melakukan pelaksanaan syariat islam di sekolah/madrasah. Pelaksanaan syariat islam di sekolah/madrasah tidak hanya terbatas
pada pakaian, pemisahan anak lelaki dan perempuan di dalam kelas dan penambahan
jam pelajaran agama, tetapi lebih ditekankan pada prilaku siswa itu
sendiri dalam kehidupannya baik di lingkungan sekolah/madrasah maupun di luar
lingkungan sekolah. Diupayakan
semua sekolah/madrasah harus dapat melaksanakan konsep ini di
sekolah agar perubahan prilaku
peserta didik yang prilaku jelek, tidak bermoral, menjadi anak yang cerdas dan berakhlak mulia
sesuai dengan nilai nilai islami.
Selanjutnya
guru, terutama guru agama harus dibekali konsep konsep pelaksanaan syariat
islam di sekolah/madrasah, bila perlu Disdikpora dan Kemenag dapat bekerjasama
dengan lembaga MPU dan dinas syariat islam atau lembaga lainnya dalam rangka mempercepat
penerapan pendidikan islami di sekolah.
4)
Usulan pemecahan masalah
(1).
Peningkatan
pemahaman konsep pendidikan islami kepada semua guru di sekolah/madrasah melalu pelatihan dan sosialisasi syariat islam.
(2).
Pelaksanaan
kerjasama dengan lembaga MPU, Dinas Syariat Isalam dan lembaga pendidikan dayah
(3).
Penambahan
jumlah jam tatap muka pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah
terutama yang menyangkut dengan pendidikan nilai nilai moral islami.
(4).
Penyediaan sarana/prasaran ibadah di sekolah/madrasah
seperti Mushalla dan menghidupkan shalat berjamaah dan ceramah agama di
sekolah.
5)
Dampak
Sesuai dengan strategi pemecahan masalah yang ditempuh untuk memenuhi standar
penyelenggaraan pendidikan islami dalam semua mata pelajaran akan memberikan dampak
positif sebagai berikut ;
(1).
Meningkatnya pemahaman konsep pendidikan islami
bagi semua guru di sekolah/madrasah.
(2).
Terjadinya peningkatan kerjasama dengan lembaga
MPU, Dinas Syariat Isalam dan lembaga
pendidikan dayah
(3).
Terjadinya perubahan prilaku guru dan siswa
yang sesuai dengan nilai nilai moral islami.
(4).
Tersedianya
sarana/prasarana peribadatan di sekolah dan pelaksanaan shalat jamaat dapat
dilakukan secara tertib di sekolah.
D.
Penutup
Saat ini peningkatan akses dan
mutu pendidikan telah menjadi konsern bersama bagi semua pemangku kepentingan
(Stakeholders) baik itu tenaga pendidik, tenaga kependidikan serta masyarakat.
Harapan masyarakat dan orang tua siswa terhadap pendidikan yang bermutu terus meningkat. Oleh
sebab itu peran serta masyarakat dalam bentuk (a) penyediaan sumber daya
pendidikan, (b) penyelenggaraan satuan pendidikan, (c) penggunaan hasil
pendidikan, (d) pengawasan penyelenggaraan pendidikan, (e) pengawasan
pengelolaan pendidikan, (f) pemberian pertimbangan dalam pengambilan keputusan;
dan/atau (g) pemberian bantuan atau fasilitas kepada satuan pendidikan sangat diharapkan oleh semua pemangku
kepentingan. Sebagai suatu
contoh komite sekolah/madrasah dapat melakukan pengawasan pengelolaan biaya
operasional sekolah, baik yang bersumber dari pemerintah. pemerintah provinsi,
pemerintah Kabupaten/Kota maupun dari masyarakat sehingga penggunaan semua sumber
dana di sekolah akan lebih tepat sasaran. Sedangkan MPD baik MPD
Provinsi maupun MPD Kabupaten/Kota diharapkan dapat berperan melakukan
pengawasan terhadap komite sekolah/madrasah dan pengelola pendidikan di
daerahnya massing-masing
Pendataan yang akurat tentang
jumlah dan kebutuhan guru di sekolah/madarah serta kualifikasinya sangat
diperlukan untuk melakukan pemerataan guru. Berapa jumlah guru permata pelajaran
yang sudah ada dan berapa kebutuhan ril serta jumlah akan pensiun pertahun
harus dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan. Hal ini penting untuk
diketahui terutama bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan selanjutnya di
bidang pembangunan pendidikan yang bermutu.
Ketiga isu kritis yang telah dibahas dengan
mengunakan pendekatan gap analisis hendaknya dapat ditindak lanjuti oleh pemerintah melalui dinas teknis dan masyarakat dalam bentuk rencana
program dan kegiatan indikatif serta rencana pembiayaan dan sumber dana baik
yang berasal dari APBN, APBA, APBK maupun dari pihak lainnya yang tidak
mengikat.
Daftar Pustaka
Departemen
Pendidikan Nasional. 2005. Acuan Operasional dan Indikator KinerjaDewan
Pendidikan
Fasli Jalal,
PhD,. 2001. Education Reform in the Context of Regional Autonomy; The Case of
Indonesia.
Pantjastuti Sri
Renani Ir. M.Si dan KK. 2008. Komite Sekolah, Sejarah dan prospeknya di masa
depan. Hikayat Publishing.
Pemerintah Aceh.
2010. Aceh Dalam Angka, Aceh In Figures
2010. Badan Pusat Statistik – Provinsi Aceh.
Pemerintah Aceh.
2009. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Pemerintah
Indonesia. 2010. PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan
Pemerintah
Indonesia. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tebtabg
Pemerintahan Aceh
Wahjosumidjo. 1999. Kepemimpinan
Kepala Sekolah. PT. Rajagrafindo Persada
Penulis:
Drs. Ibrahim Bewa, MA.
Lahir di Aceh Utara, 2 Juni 1956. Master bidang
Pengajaran Bahasa Inggris, lulusan Thames Valley University (TVU) London. Saat ini bekerja sebagai tenaga pengajar pada
STAIN Malikussaleh Lhokseumawe , Tenaga Ahli Komisi E DPRK Aceh Utara dan Wakil
Ketua MPD Kabupaten Aceh Utra.